Jakarta - Situasi sepakbola dalam negeri tengah memanas. Ketika prestasi tak kunjung hadir, dipersulit oleh tata kelola kompetisi yang masih berantakan, Menteri Pemuda Olahraga, Imam Nahrawi, meminta PSSI melakukan perubahan dengan memprofesionalkan peserta kompetisi tertinggi Indonesia, Qatar National Bank League. Namun hal tersebut tak bisa dituruti PSSI.
“Pembekuan” PSSI seolah menjadi puncak kisruh sepakbola nasional yang sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum hari ini.
Kisruh dalam dunia sepakbola tentunya tak hanya terjadi di Indonesia. Bahkan kisruh seperti di Indonesia ini kerap menjadi batu loncatan untuk menggapai sesuatu yang lebih baik. Kali ini kami akan menceritakan bagaimana sepakbola Italia semakin berkembang setelah melewati sejumlah kisruh.
Ketika CONI Mereformasi FIGC
Federasi sepakbola Italia merupakan salah satu federasi sepakbola tertua di dunia. Berdiri pada 1898, Italia membentuk Federazione Italiana Football (FIF) sebagai organisasi amatir yang mengurusi aktivitas sepakbola Italia.
Segala peraturan sepakbola yang diterapkan FIF mengadopsi peraturan sepakbola yang dimiliki Asosiasi Sepakbola Inggris (FA). Turnamen pertama di Italia pun digelar selama satu hari pada 8 Mei 1898 sebagai langkah awal FIF dalam mengorganisasi sepakbola Italia.
FIF kemudian bergabung dengan FIFA sebagai induk federasi sepakbola dunia pada 1905. Masuknya FIF membuat Italia bisa menjalani pertandingan internasional melawan negara lain. Namun untuk bisa melangkah lebih jauh, FIFA meminta FIF untuk lebih profesional dengan cara menjadi badan olahraga yang diakui negara.
Perdebatan panjang membuat FIF tetap berjalan amatir dan jalan di tempat. Amatirnya FIF membuat Italia tak bisa melakoni pertandingan internasional, karena regulasi FIFA hanya mengizinkan negara yang bertanding memiliki badan sepakbola yang diakui pemerintah. FIF hingga saat itu belum diakui pemerintahan Italia.
Setelah terkatung-katung selama empat tahun, akhirnya FIF mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari Comitato Olimpico Nazionale Italiano (CONI), induk organisasi cabang-cabang olahraga yang ada di Italia. FIF pun kemudian mengubah namanya menjadi Federazione Italiana Giuco del Calcio (FIGC). Giuco del Calcio sendiri dalam bahasa Italia berarti tempat bermain sepakbola.
Italia pun mulai bisa melakoni laga internasional. Laga pertamanya menghadapi Prancis pada 15 Mei 1910. Debut timnas Italia ini sendiri berakhir manis setelah Italia yang saat itu belum berseragam Gli Azzurri (biru langit), masih menggunakan seragam warna putih, menang dengan skor telak 6-2.
Sepakbola kemudian semakin populer dan menjadi olahraga favorit masyarakat Italia. Hal ini dimanfaatkan kelompok politik pimpinan Benito Mussolini pada awal 1920 atau pasca Perang Dunia I untuk menyebarkan pikiran politik fasisme.
Situasi menjadi memanas pada akhir kompetisi musim 1925-1926. Pemimpin Lega Nord, semacam PT Liga di Indonesia, Enrico Olivetti, mengundurkan diri dari jabatannya karena organisasi itu dianggap berada di jalur yang salah. Namun Olivetti meminta CONI untuk menyelenggarakan pemilihan ketua Lega Nord berikutnya karena presiden FIGC saat itu, Luigi Bozino, identik sebagai politikus berpaham fasisme.
CONI menanggapi hal ini sebagai situasi darurat untuk keberlangsungan liga. Kemudian CONI menunjuk tiga ahli yaitu Paolo Graziani, Italo Foschi, dan pengacara yang juga presiden komisi wasit, Giovanni Mauro, untuk menindaklanjuti hal tersebut.
Ketiganya kemudian mengadakan pertemuan di kota Viareggio yang menyusun dokumen-dokumen organisasi baru yang akan dibentuk untuk mengurusi sepakbola Italia selanjutnya. Dokumen-dokumen tersebut kemudian diterima dan ditandatangani oleh CONI. Dokumen-dokumen ini kemudian dipublikasikan dan dikenal dengan sebutan Piagam Viareggio.
Dalam piagam tersebut dijelaskan peraturan baru dari sistem transfer, peraturan yang membolehkan pemain luar kebangsaan Italia bermain di liga, dan juga beberapa aturan yang mendorong reformasi organisasi FIGC yang dianggap telah keluar jalur karena kelewat lekat dengan kepentingan-kepentingan politik praktis.
CONI kemudian mengganti presiden FIGC saat itu, Luigi Bozino, oleh Leandro Arpinati. Arpinati, meski dikenal sebagai sahabat dekat Mussolini dan juga kental dengan fasisme, dianggap bisa melakukan perubahan bagi sepakbola Italia. Ia sebelumnya termasyhur sebagai jurnalis olahraga dengan reputasi yang bagus.
Arpinati menunjukkan daya tariknya pada olahraga, khususnya sepakbola, dengan mengadakan sejumlah turnamen, tak seperti era Bozino. Bahkan kemudian Arpinati ditunjuk sebagai presiden CONI karena dianggap memberikan perubahan besar bagi sepakbola Italia, khususnya di liga yang juga merupakan buah dari Piagam Viareggio.
Posisi Arpinati di FIGC kemudian digantikan Giorgio Vaccaro yang berjasa besar membesarkan kesebelasan ibukota, SS Lazio, di Italia. Di tangannya, Italia menjadi juara dunia dua kali secara beruntun, 1934 dan 1938.
Dualisme Liga di Italia
Pasca Perang Dunia I, tepatnya pada 1921, kompetisi di Italia sebenarnya menghadapi persoalan serius: dualisme liga. Namun dualisme yang terjadi saat itu bukan karena perebutan kekuasaan di federasi seperti yang pernah terjadi di Indonesia, melainkan karena terdapat perbedaan pendapat antara kesebelasan besar dan kecil di Italia.
Sejumlah kesebelasan besar di Italia, termasuk di dalamnya Genoa, Juventus, AC Milan, Internazionale Milan, Bologna, dan Torino, menolak mengikuti kompetisi yang diselenggarakan FIGC karena dianggap terlalu gendut pesertanya.
FIGC awalnya hendak menyelenggarakan liga dengan 72 kesebelasan yang dibagi per daerah provinsi atas usulan eks pemain Torino, Vittorio Pozzo. Namun karena terjadi pembakangan dari kesebelasan-kesebelasan besar di Italia, liga ini akhirnya hanya diikuti 48 kesebelasan yang dibagi ke dalam enam grup.
Sementara itu, kesebelasan besar yang membangkang meninggalkan FIGC dan membentuk liga di bawah federasi baru bernama Confederazione Calcistica Italiana (CCI). Kompetisi ini kemudian diikuti oleh 50 kesebelasan yang dibagi ke dalam dua wilayah, Northern League dan Southern League.
Kedua liga ini berjalan secara bersamaan pada musim 1921-1922. Liga bentukan FIGC menghasilkan kesebelasan U.S. Novese sebagai juara, sementara liga bentukan CCI menghasilkan Pro Vercelli sebagai peraih mahkota juara.
Presiden FIGC saat itu, Luigi Bozino, merasa situasi ini tak baik bagi persepakbolaan Italia. Lantas ia terus berkonsultasi dengan editor dari harian Gazzetta dello Sport, Emilio Colombo, untuk mencari solusi dari dualisme liga yang memecah belah persepakbolaan Italia tersebut.
Sementara itu, pada akhir musim liga, CCI pun menyadari bahwa pihaknya memiliki titik lemah. Ya, CCI tentunya tak diakui FIFA karena FIFA lebih mengakui FIGC. Ini tentunya akan mempengaruhi keberlangsungan liga karena tak mendapatkan bantuan dari negara.
Dari sinilah Colombo mengadakan pertemuan dengan CCI dan sejumlah perwakilan kesebelasan yang berada di bawah naungannya. Lalu setelah memahami apa yang diinginkan dari pihak CCI dan dipercaya oleh FIGC, Colombo kemudian melahirkan keputusan baru yang dikenal dengan Kompromi Colombo.
Ada tujuh poin yang menjadi keputusan Kompromi Colombo:
1. Kedua asosiasi akan bersatu kembali dengan cara CCI dibubarkan;
2. Musim 1922-1923 akan digelar dengan nama Divisi Utama, sebagaimana yang telah dijalankan CCI sebelumnya;
3. Turnamen baru akan dibagi menjadi dua grup: Northern League dan Southern League, yang mengelola liga adalah CCI, namun menjadi bagian dari federasi (FIGC);
4. Kesebelasan di wilayah selatan, yang dihuni kesebelasan-kesebelasan kecil, harus tetap memiliki struktur dalam penyelenggaraan kompetisi regional;
5. Kategori-kategori yang ada di liga bentukan FIGC sebelumnya dihapuskan dan akan disebar ke dalam empat level. Level satu dan dua yang akan menjadi liga nasional dikelola oleh orang-orang yang sebelumnya berada di CCI, sementara pihak FIGC akan mengelola level tiga dan empat.
6. Mulai musim 1923-1924, hanya sebanyak 24 kesebelasan yang berkompetisi dengan mendegradasi 12 kesebelasan;
7. FIGC harus mengakui Pro Vercelli sebagai juara Italia pada musim 1921-1922;
Pada kompetisi baru hasil dari penggabungan kedua liga ini, sebanyak 36 kesebelasan berkompetisi di Northern League. Sementara Southern League, diikuti oleh 19 kesebelasan yang dibagi per provinsi: Marche (6), Campania (5), Apulia (5), Sicily (3). Nantinya, juara Northern League akan dipertemukan dengan juara Southern League. Pemenang merupakan kesebelasan yang menjadi juara nasional.
Damainya dua kubu ini membuat banyaknya kesebelasan besar yang kembali berlaga di kompetisi baru, menjadi cikal bakal terbentuknya Serie A Italia. Pada musim 1929-1930, FIGC memutuskan untuk menggabungkan Southern dan North League ke dalam satu kompetisi penuh yang mana sistem ini terus digunakan hingga saat ini.
Kesimpulan
Begitulah sepakbola Italia melewati masa-masa kisruh dalam negeri. Sama seperti di Indonesia, dualisme kompetisi dan dualisme federasi pernah terjadi di Italia. Tapi di Italia, ini justru menjadikan Liga Italia semakin berkembang setelah dualisme itu justru melahirkan Serie A Italia sebagai kompetisi tertinggi dan kemudian menjadi salah satu yang paling terkenal di dunia.
Setelah Serie A dibentuk dan kemudian semakin berkembang, timnas Italia akhirnya bergelimang prestasi. Para pemain kelas dunia dilahirkan dari kompetisi Serie A yang semuanya bermuara pada empat gelar juara dan dua runner-up Piala Dunia, serta satu gelar juara dan dua runner-up Piala Eropa.
Jika kita berkaca pada perjalanan sepakbola Italia di atas, Indonesia tentunya sudah melewati fase ini. Indonesia Super League (ISL) adalah hasil dari penggabungan dua liga yang berkompetisi pada saat yang bersamaan (ISL dan Indonesian Premier League/IPL).
Namun permasalahan ternyata belum selesai juga. Unifikasi liga tak menghasilkan kompetisi yang lebih baik dari sebelumnya. Persoalan yang sama masih berulang lagi dan lagi: tunggakan gaji, sepakbola gajah, dan belakangan malah terbongkar banyak klub yang tidak mengurus kewajiban pajaknya.
-detik.com-
-detik.com-