Pencarian pada Label :: Jokowi :: | Berita
Headlines News:

Pakar Perilaku: Jokowi Belum Bisa Disebut sebagai Pemimpin

5/29/2015 06:29:00 AM
Pemimpin disebut harus memiliki terobosan, demi membawa semua yang dipimpin untuk meraih visinya.

Pakar perilaku dari Universitas Indonesia (UI) Taufik Bahaudin mengatakan, yang dibutuhkan untuk membawa Indonesia menjadi negara maju adalah pemimpin bukan pimpinan.

"Indonesia ini butuh pemimpin, bukannya pimpinan seperti yang hadir sejak beberapa tahun belakangan," kata Taufik setelah peluncuran survei awal tahun dengan tajuk "Menakar Kinerja Jokowi-JK dalam Evaluasi Mahasiswa UI" di Kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis.

Dari disiplin ilmu yang dia kuasai, Taufik mengatakan, ada perbedaan dari pemimpin dan pimpinan. Pemimpin adalah orang yang memiliki terobosan untuk membawa semua yang ada di bawahnya untuk meraih visinya.

"Sedangkan pemimpin tidak, dia hanya memberdayakan, mengefektifkan semua sumber yang ada untuk menjalankan visi orang lain," kata dia.

Ketika ditanya siapa menurutnya yang merupakan pemimpin, dia mencontohkan Presiden Indonesia pertama Soekarno, Presiden Kuba Fidel Castro dan mantan Presiden Mesir Gamal Abdul Naser.

"Bahkan mantan Presiden Soeharto mau tidak mau, suka tidak suka adalah pemimpin," ujarnya.

Menurut dia, Presiden Joko Widodo masih belum bisa dianggap pemimpin karena belum berani mengambil tindakan ketika dirasakan ada yang salah dengan cara mengelola negara oleh masyarakat.

"Dia belum bisa dibilang 'leader' karena masih belum berani ambil putusan sendiri. 'Leader' itu juga harus punya visi, dan nawacita itu saya lihat bukan mimpinya Jokowi, tetapi mimpi orang lain," ujar Taufik.

Dia mengatakan, pemimpin harus bertanggungjawab dalam memilih bawahannya, berani mengambil risiko demi kebaikan bangsa dan tidak takut dipresepsikan jelek. Bahkan, kualitas pemimpin itu juga tercermin dari struktur organisasi yang dipimpinnya.

"'Leader' itu harus berani memilih, tidak takut dipersepsikan jelek, berani mengambil risiko untuk kebaikan bangsa kedepannya. Dan ingat kualitas sistem organisatoris dari tingkat RT hingga negara itu tergantung orang nomor satunya," kata Taufik.

Terkait dengan survei oleh Kelompok Studi Mahasiswa Universitas Indonesia (KSM UI) yang menilai kinerja menteri dan kementerian dalam Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla belum memuaskan, Taufik mengatakan, hal ini bisa dijadikan bahan introspeksi para pihak yang berkepentingan.

"Semua survei adalah persepsi, ini diyakini sebagai fakta yang terjadi karena ada kepercayaan dan apa yang responden rasakan dan terjadi di masyarakat. Namun persepsi seperti ini bersifat subjektif, tetapi bisa untuk introspeksi oleh pihak atau objek yang dinilai," katanya. [Antara- Suara.com - ]

Mensesneg: Presiden Perintahkan Kapolri Lepaskan Novel Baswedan

5/01/2015 04:02:00 PM
Jakarta - Mensesneg Pratikno menyampaikan pesan Presiden Jokowi untuk Polri. Pratikno meminta agar Polri segera melepaskan penyidik KPK Novel Baswedan.

"Presiden sebagai pimpinan tertinggi Polri telah memerintahkan Kapolri untuk memastikan proses hukum bisa berjalan dengan terbuka, obyektif dan menjunjung tinggi rasa keadilan. Presiden juga telah memerintahkan Kapolri untuk melepaskan Novel Baswedan karena tidak ada alasan untuk menahan yang bersangkutan," ujar Pratikno dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (1/5/2015).

Pratikno juga menyatakan Presiden telah memerintahkan Kapolri untuk menjaga kondisi yang sudah kondusif dan tidak melakukan langkah-langkah yang menimbulkan kontroversi.

"Polri diminta tidak mengambil tindakan apapun yang bisa memicu ketegangan antar institusi penegakan hukum," ujar Praktikno.

Menurut Praktikno, perintah Presiden ini agar segera dilaksanakan demi untuk menjunjung tinggi wibawa hukum, menjaga marwah KPK dan Polri. KPK dan Polri harus bahu membahu, saling menguatkan dan sinergi untuk melawan korupsi yang menjadi musuh bersama.



(ndr/mad/detik.com)

Ini Pernyataan Lengkap Jokowi Perintahkan Kapolri Tak Tahan Novel Baswedan

5/01/2015 03:02:00 PM
Solo, - Presiden Joko Widodo memerintahkan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk tak menahan penyidik KPK Novel Baswedan. Presiden juga menginstruksikan penegakan hukum dilakukan secara transparan dan adil.

Presiden Jokowi menyampaikan hal itu kepada wartawan dari balik pintu mobil hitam yang akan ditumpanginya, usai salat Jumat di Masjid Kottabarat, Solo, Jumat (1/5/2015). Berikut pernyataan Jokowi selengkapnya: 

Saya sudah perintahkan ke Kapolri, pertama untuk tidak ditahan. Yang kedua proses hukum harus dilakukan secara transparan dan adil. Dan yang ketiga saya sudah perintahkan juga Wakapolri untuk tidak lagi membuat kontroversi. Hal-hal yang membuat kontroversi di masyarakat maupun ketidak... (berhenti cukup lama) sinergian antara KPK dan Polri. Mereka harus bekerja bersama-sama, Polri, KPK, Kejaksaan, semuanya dalam pemberantasan korupsi.

Jadi apakah Novel Baswedan akan dibebaskan? (tanya wartawan)

Sudah saya perintahkan tadi.-detik.com-

Australia Tarik Dubesnya, Begini Reaksi Jokowi

4/29/2015 12:17:00 PM
JAKARTA - Pelaksaan tembak mati terhadap delapan terpidana mati di Pulau Nusakambangan Rabu (29/4) dini hari masih berbuntut. Salah satunya adalah pemerintah Australia langsung menarik duta besarnya untuk Indonesia Paul Grigson. Penarikan Paul adalah bentuk protes pemerintah Negeri Kanguru atas dieksekusinya dua warganya, yakni Andrew Chan dan Myran Sukumaran atau yang disebut-sebut sebagai sindikat Bali Nine.

Tapi ternyata Presiden Joko Widodo bereaksi tenang atas ditariknya dubes Australia untuk Indonesia.  "Ini kedaulatan hukum kita. Saya ndak akan mengulang-ngulang lagi. Jangan ditanya itu lagi," tegas Presiden di Bidakara, Jakarta, Rabu.

Ditanya soal kekhawatiran sejumlah kalangan terkait terganggunya hubungan kerjasama ekonomi Australia dan Indonesia yang selama ini terjalin,  presiden juga tidak menjawabnya.

"Ini kedaulatan tentang hukum kita," ulang presiden.

Presiden mengaku Indonesia juga sudah pernah menarik Dubes RI di Yaman saat terjadi aksi bom di negara itu dari Arab Saudi. Sehingga penarikan Dubes Australia tidak menjadi soal baginya.

Sebelumnya diberitakan, Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengumumkan bahwa Dutabesar Australia untuk Indonesia ditarik untuk konsultasi menyusul eksekusi terhadap terpidana mati narkoba Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

PM Abbott mengukuhkan hal tersebut hari Rabu (29/4) beberapa jam setelah Chan dan Sukumaran ditembak mati di Nusa Kambangan. (flo/jpnn.com)

Jokowi: Eksekusi Mary Jane Bukan Dibatalkan, tapi Ditunda

4/29/2015 12:04:00 PM

JAKARTA - Presiden Joko Widodo akhirnya angkat suara terkait selamatnya Mary Jane Veloso dari moncong senapan regu tembak Rabu (29/4) dini hari. Ya, terpidana mati asal Filipina itu masih bisa bernafas karena Jokowi mengeluarkan kebijakan di menit-menit akhir untuk menunda eksekusinya. 

“Itu tidak dibatalkan. Ini penundaan. Untuk lebih jelasnya (tanya) ke Jaksa Agung," tegas Jokowi, sapaan karib Joko Widodo, di Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (29/4).

Menurut Jokowi keputusan penundaan dilakukan karena Indonesia menghargai proses hukum yang berjalan saat ini di Filipina. Terutama setelah Maria Kristina Sergio yang diduga sebagai perekrut yang mengirim Mary Jane ke Yogyakarta dengan membawa kokain menyerahkan diri ke kantor polisi Filipina.

Kristina disebut sebagai orang yang menjebak Mary Jane dengan membekalinya sebuah tas berisi heroin dari Malaysia. 

Mary Jane, yang hanya buruh migran tidak menyadari isi tas itu dan membawanya hingga ke Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Di bandara tersebut ia dibekuk pihak yang berwajib. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu membantah penundaan terjadi karena ada lobi maupun tekanan dari Presiden Filipina Benigno Aquino III.

"Kan ada surat dari pemerintah Filipina bahwa di sana ada proses hukum mengenai human trafficking sehingga Indonesia menghargai proses hukum seperti itu," kata Jokowi.

Selebihnya, presiden enggan menjelaskan lebih rinci mengenai nasib Mary Jane dengan adanya penundaan tersebut. Ia menyerahkan sepenuhnya pada kewenangan Kejaksaan Agung. (flo/jpnn.com)

Nasional Biaya Haji Turun Diklaim Bukti Jokowi Prorakyat

4/28/2015 11:11:00 AM

JAKARTA - Ketua Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia, Faozan Amar mengklaim, penurunan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2015 sebesar 502 dolar AS merupakan bukti pemerintah Joko Widodo yang prorakyat.

"Uang tersebut, kalau dirupiahkan sekitar Rp 6 juta, sangat membantu rakyat yang akan melaksanakan ibadah haji. Kan bisa digunakan untuk biaya walimat al-safar atau yang lainnya," ungkap Faozan dilansir Rakyat Merdeka Online (Grup JPNN.com), Selasa (28/4).

Penururan biaya ini, lanjut Faozan, juga menjadi bukti bahwa pembenahan yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi mulai menampakan hasil. Tentu saja, ia menyarankan, agar penurunan biaya ini tetap harus diimbangi dengan layanan yang berkualitas.

"Jika layanan penyelenggaraan terhadap jamaah haji sama saja atau bahkan lebih buruk, berarti revolusi mental di Kementerian Agama belum berhasil", tegas Faozan Amar.

Berdasarkan kesepakatan Komisi VIII DPR dan Kementerian Agama, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun ini berkisar pada rata-rata 2.717 dolar AS atau turun 502 dolar AS dibandingkan tahun lalu.(ysa/rmol/jpnn)

Mengenang hujatan untuk SBY karena beri grasi kasus narkoba

4/28/2015 10:07:00 AM

Pemberian atau penolakan grasi bagi terpidana mati kasus narkoba di Indonesia ibarat pedang bermata dua. Sang presiden bisa sama-sama dihujat publik karena memberi grasi atau menolak grasi yang berujung eksekusi mati.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) termasuk yang saat ini sedang dihujat publik karena menolak grasi para terpidana kasus narkoba. Akibat penolakan itu, sembilan terpidana mati siap dieksekusi dalam gelombang kedua, tak lama lagi.

Hujatan yang sama juga pernah dialami Jokowi jelang eksekusi gelombang pertama. Namun, sang kepala negara tetap pada keputusannya, sehingga enam terpidana mati kasus narkoba meregang nyawa pada dini hari di 18 Januari 2015.

Jika Jokowi dikritik habis-habisan karena menolak grasi, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2012 pernah dihujat karena memberikan grasi untuk Deni Setia Maharwan alias Rapi Muhammad Majid dan Melika Pranola alias Ola, Peter Achim Franz Grodmann (warga negara Jerman) dan Schapelle Leigh Corby (warga Australia). Tidak semuanya terpidana mati.-Merdeka.com - 

Hukuman Mati Terpidana Narkoba, Jokowi tak Konsisten

4/25/2015 09:26:00 AM

JAKARTA - Direktur Eksekutif ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), Supriyadi W Eddyono menyebut sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) inkonsisten terkait eksekusi mati terhadap 10 terpidana narkoba.

Penilaian ini didasarkan pada sikap Jokowi dalam beberapa waktu terakhir, terutama saat membuka Konferensi Asia Afrika (KAA).

Saat berpidato di pembukaan KAA, Presiden Joko Widodo bebicara lantang mengenai hak hidup, menolak ketidakadilan dan menyentuh kemanusiaan.

"Pidato yang banyak dipuji oleh negara sahabat ini ternyata tidak bertahan lama dalam tataran praktiknya di Indonesia," kata Supriyadi melalui siaran persnya, Jumat (24/4)..

Ini karena sehari setelah pidato itu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah pelaksanaan eksekusi mati kepada jaksa eksekutor terhadap sepuluh terpidana mati gelombang kedua, yakni Martin Anderson alias Belo, Zainal Abidin, Raheem Agbajee Salame, Rodrigo Gularte, Mary Jane Fiesta Veloso, Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Serge Areski Atlaoi, Okwudili Oyatanze, Sylvester Obiekwe Nwolise.

"Surat tersebut diterima oleh Jaksa Eksekutor pada pada 23 April 2015, satu hari setelah Presiden Jokowi dipuji karena pidato kemanusiaannya. ICJR menilai bahwa banyak aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah Joko Widodo apabila akan menjalankan eksekusi mati," ujarnya.

Berdasarkan penelusuran ICJR, Indonesia masih bermasalah dengan problem fair trial, pidana mati yang dijatuhkan pada para terpidana mati banyak yang tidak memenuhi standar peradilan yang adil. Contoh kasus, Zainal Abidin misalnya, terindikasi disiksa dan diintimidasi oleh penyidik, tidak didampingi kuasa hukum pada awal interogasi, saksi yang diajukan diruang sidang juga sangat minim.

Kemudian Mary Jane Fiesta Veloso, diduga juga tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak. Peran dirinya dalam jaringan narkotika juga sangat lemah,  Mary Jane Fiesta Veloso merupakan kurir yang dijebak, dengan peran yang sangat minim maka tingkat kesalahan Mary Jane Fiesta Veloso tidak pula layak dijatuhi pidana mati.

"Eksekusi hukuman mati juga seharusnya tidak diperkenankan terhadap seorang narapidana yang berada dalam kondisi penundaan yang cukup lama sesuai dengan norma HAM kontemporer menurut preseden dan pengalaman Komite HAM dan atau Komite Anti Penyiksaan," tambahnya.

Karenanya ICJR menilai bahwa ada baiknya pemerintah Indonesia mengevaluasi eksekusi pidana mati dan lebih jauh melakukan moratorium serta melakukan review terhadap seluruh putusan pidana mati yang terindikasi tidak sesuai dengan prinsip fair trial.

"Posisi Indonesia yang sedang baik paska KAA harus dijadikan cermin terkait praktik eksekusi mati yang bertentangan dengan kemanusiaan. Presiden Joko Widodo harus berhati-hati agar tidak dianggap inkonsistensi," pungkasnya.(fat/jpnn.com)
 
notifikasi
close