Pencarian pada Label :: Terpidana Narkoba :: | Berita
Headlines News:

Marah Soal Eksekusi, Abbott Ingin Persahabatan RI-Australia Bisa Dilanjutkan

5/01/2015 02:24:00 PM
Canberra, - Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott menyampaikan harapan agar persahabatan antara Australia dan Indonesia bisa dilanjutkan, meski adanya ketegangan terkait eksekusi mati duo Bali Nine. Menurut Abbott, rakyat Indonesia memahami kemarahan Australia atas eksekusi tersebut.

Hal ini disampaikan Abbott menyusul statemen dari Duta Besar RI untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema yang menyampaikan simpati bagi keluarga Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang dieksekusi mati pada Rabu, 29 April lalu.

"Rakyat dan pemerintah Indonesia menyampaikan simpati kami pada keluarga dan para sahabat almarhum," ujar Nadjib.

Ditekankan Nadjib, hubungan baik dengan Australia adalah penting bagi Indonesia, dan Jakarta tetap berkomitmen untuk memperbaiki dan memperkuat hubungan bilateral.

Pernyataan itu disambut baik oleh Abbott. "Itu tanda bahwa rakyat Indonesia yang baik menghargai kemarahan yang dirasakan Australia atas kematian yang kejam dan tak perlu ini dan itu tanda bahwa pada waktunya nanti, persahabatan yang baik dan kuat antara Australia dan Indonesia bisa dilanjutkan," kata Abbott kepada para wartawan di Canberra, Australia seperti dilansir kantor berita AFP, Jumat (1/5/2015).

Dikatakan Abbott, meskipun saat ini merupakan momen sulit dalam hubungan Australia-Indonesia, namun dirinya yakin bahwa kedua negara akan melakukan apa yang diperlukan untuk membangun kembali hubungan antar negara.

"Karena meskipun adanya masalah-masalah dalam beberapa hari terakhir, meskipun adanya kemarahan yang sangat bisa dimaklumi yang dirasakan begitu banyak warga Australia, pada akhirnya, merupakan kepentingan semua orang agar hubungan ini bisa dipulihkan secepat mungkin," tandas pemimpin negeri Kangguru itu.




(ita/ita)

Polisi Australia Kapok Kasih Informasi Narkoba ke Indonesia

4/30/2015 12:33:00 PM

Eksekusi mati yang dilakukan Kejaksaan Agung RI terhadap dua warga Australia, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, turut menyeret Polisi Federal Australia (AFP).

Sebab, keduanya bisa ditangkap oleh polisi di Indonesia, karena AFP turut membagi informasi kepada polri soal rencana penyelundupan narkoba dari Bali ke Negeri Kanguru.

Kantor berita Reuters, Rabu, 29 April 2015 melansir, belajar dari kasus duo Bali Nine, maka AFP akan memastikan tidak lagi membocorkan informasi ke pihak lain terkait rencana penyelundupan narkoba.

Informasi ini diperoleh dari dokumen internal yang didapat berdasarkan UU Kebebasan Informasi (FOI).

Di dalam dokumen itu, tertulis jelas adanya perubahan yang signifikan dalam kinerja AFP di luar negeri. Mereka diminta untuk tak lagi berbagi informasi ke negara lain.

Permintaan semacam itu sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2009 lalu. Saat itu, Menteri Federal Australia diminta memeriksa terlebih dahulu sebelum berbagi informasi dengan badan asing yang kemungkinan bisa menyebabkan warga Australia berisiko dijatuhi hukuman mati.

Akibat terungkapnya dokumen itu, kemudian memicu perdebatan sikap AFP yang seolah-olah mengaku tidak bersalah dan tidak ikut bertanggung jawab dalam eksekusi Chan serta Sukumaran.

Pada bulan lalu, Komisioner AFP, Andrew Colvin, mengatakan institusi mereka tidak memiliki darah Bali Nine di tangannya. Keputusan AFP untuk berbagi informasi ke Polda Bali ketimbang menahan sembilan anggota Bali Nine di Australia, membuat publik di dalam negaranya geram.

Informasi mengenai rencana penyelundupan narkoba dari Bali ke Australia yang dilakukan sembilan anggota Bali Nine disampikan ke AFP oleh seorang pengacara, Bob Myers. Ayah salah satu anggota gembong, Lee Rush, menduga puteranya, Scott telah direkrut menjadi kurir narkoba dan hendak berangkat ke Bali.

Semula niat Myers menyampaikan informasi itu ke AFP supaya mereka mencegat sembilan anggota Bali Nine berangkat ke Bali.

"Tetapi mereka malah bertingkah layaknya seorang koboi dan membocorkan informasi itu kepada pihak berwenang di Indonesia," ujar Myers.

Lee akhirnya ditangkap oleh Polisi Indonesia di tahun 2005 lalu. Ketika itu usianya baru 19 tahun. Hukuman Lee pun berhasil dibuat lebih ringan dari hukuman mati menjadi seumur hidup di tahun 2011 lalu.

Myers kini mengaku sangat kesal dengan cara kerja AFP. Sebab, sebelumnya mereka mengaku tidak terlibat dan tak bersalah, tetapi diam-diam mengubah cara kerjanya.

"Sangat jelas dari tindakan mereka saat ini. Bahwa mereka tidak akan melakukan cara serupa di masa mendatang," kata Myers.

Dia menambahkan, hal tersebut merupakan cerminan dari pegawai publik yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi semua warga. Pengajar politik dan hubungan internasional di Universitas Deakin, Damien Kingsbury turut berpendapat hal senada.

"Mereka sengaja menutupi kesalahan mereka dan mengakui adanay kekeliruan dalam proses peradilan," kata Kingsbury.

Hal ini, kata Kingsbury jelas mempermalukan AFP di depan publik, jika mereka akhirnya menyadari perbuatan mereka itu keliru.

"Mereka sesungguhnya tidak bisa mengatakan hal tersebut lantang, karena jika mereka bersuara sama saja dengan mengakui perbuatannya," ujar Kingsbury.

Sementara itu, pejabat AFP secara resmi mengatakan, alasan membagi informasi kepada Polisi Indonesia, karena khawatir mereka bisa kabur dengan membawa narkoba dari Bali. (ase)

© VIVA.co.id 

Jokowi Isyaratkan Tak Akan Ampuni Mary Jane

4/27/2015 09:06:00 PM

Presiden Joko Widodo mengaku telah berbicara dengan Jaksa Agung mengenai nasib terpidana mati kasus narkoba asal Filipina, Mary Jane Fiesta Veloso. Pembicaraan itu dilakukan, setelah Presiden Filipina Benigno Aquino III, menemui Jokowi untuk memberikan pengampunan bagi Mary Jane.

Namun, ketika ditanya hasil keputusan, setelah berkonsultasi dengan Jaksa Agung, Presiden enggan membeberkannya. "Tanya ke Bu Menlu (Retno Marsudi), karena yang di Malaysia, kan Bu Menlu. Tolong sampaikan ke Presiden Aquino seperti ini," kata Jokowi, usai menghadiri forum silaturahmi Pers Nasional di Jakarta, Senin 27 April 2015.

Aquino memang tengah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Asean di Malaysia. Di acara itu pula, dia menemui dan melobi Jokowi. Namun, Jokowi memberikan sinyal bahwa eksekusi mati bagi terpidana narkoba harus tetap berjalan. Sebab, menurutnya, kini Indonesia tengah darurat narkoba. Inilah yang dia minta kepada media untuk menjelaskan berapa orang yang tewas karena narkoba.

"Setiap hari ada 50 generasi muda kita mati karena narkoba. Kalau dihitung setahun, ada 18 ribu, itu yang harus dijelaskan. Jangan yang dijelaskan yang dieksekusi, jelasin dong nama-nama 18 ribu itu siapa saja," katanya.

Kepala Negara menjelaskan, banyak korban narkoba yang kini direhabilitasi. "Mereka berguling-guling, meregang, berteriak-teriak," kata dia.

Jokowi meminta media massa lebih menyoroti korban narkoba itu tersiksa, bahkan meninggal dunia. "Jangan dibandingkan satu orang dengan 18 ribu orang itu," lanjutnya.

Presiden menolak memberikan penyataan tegas tentang kemungkinan pengampunan kepada Mary Jane. Dia hanya bilang: "Saya tidak akan mengulang, itu kedaulatan hukum. Saya tidak akan mengulangi.” (asp)- VIVA.co.id - 

Hukuman Mati Terpidana Narkoba, Jokowi tak Konsisten

4/25/2015 09:26:00 AM

JAKARTA - Direktur Eksekutif ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), Supriyadi W Eddyono menyebut sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) inkonsisten terkait eksekusi mati terhadap 10 terpidana narkoba.

Penilaian ini didasarkan pada sikap Jokowi dalam beberapa waktu terakhir, terutama saat membuka Konferensi Asia Afrika (KAA).

Saat berpidato di pembukaan KAA, Presiden Joko Widodo bebicara lantang mengenai hak hidup, menolak ketidakadilan dan menyentuh kemanusiaan.

"Pidato yang banyak dipuji oleh negara sahabat ini ternyata tidak bertahan lama dalam tataran praktiknya di Indonesia," kata Supriyadi melalui siaran persnya, Jumat (24/4)..

Ini karena sehari setelah pidato itu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah pelaksanaan eksekusi mati kepada jaksa eksekutor terhadap sepuluh terpidana mati gelombang kedua, yakni Martin Anderson alias Belo, Zainal Abidin, Raheem Agbajee Salame, Rodrigo Gularte, Mary Jane Fiesta Veloso, Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Serge Areski Atlaoi, Okwudili Oyatanze, Sylvester Obiekwe Nwolise.

"Surat tersebut diterima oleh Jaksa Eksekutor pada pada 23 April 2015, satu hari setelah Presiden Jokowi dipuji karena pidato kemanusiaannya. ICJR menilai bahwa banyak aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah Joko Widodo apabila akan menjalankan eksekusi mati," ujarnya.

Berdasarkan penelusuran ICJR, Indonesia masih bermasalah dengan problem fair trial, pidana mati yang dijatuhkan pada para terpidana mati banyak yang tidak memenuhi standar peradilan yang adil. Contoh kasus, Zainal Abidin misalnya, terindikasi disiksa dan diintimidasi oleh penyidik, tidak didampingi kuasa hukum pada awal interogasi, saksi yang diajukan diruang sidang juga sangat minim.

Kemudian Mary Jane Fiesta Veloso, diduga juga tidak mendapatkan bantuan hukum yang layak. Peran dirinya dalam jaringan narkotika juga sangat lemah,  Mary Jane Fiesta Veloso merupakan kurir yang dijebak, dengan peran yang sangat minim maka tingkat kesalahan Mary Jane Fiesta Veloso tidak pula layak dijatuhi pidana mati.

"Eksekusi hukuman mati juga seharusnya tidak diperkenankan terhadap seorang narapidana yang berada dalam kondisi penundaan yang cukup lama sesuai dengan norma HAM kontemporer menurut preseden dan pengalaman Komite HAM dan atau Komite Anti Penyiksaan," tambahnya.

Karenanya ICJR menilai bahwa ada baiknya pemerintah Indonesia mengevaluasi eksekusi pidana mati dan lebih jauh melakukan moratorium serta melakukan review terhadap seluruh putusan pidana mati yang terindikasi tidak sesuai dengan prinsip fair trial.

"Posisi Indonesia yang sedang baik paska KAA harus dijadikan cermin terkait praktik eksekusi mati yang bertentangan dengan kemanusiaan. Presiden Joko Widodo harus berhati-hati agar tidak dianggap inkonsistensi," pungkasnya.(fat/jpnn.com)
 
notifikasi
close